Akhirnya Wali Kota Jakarta Selatan Marullah Matali dilantik menjadi Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) DKI Jakarta menggantikan Sekdaprov Saefullah, yang belum lama lni meninggal dunia. Dengan demikian, kursi birokrat nomor satu di DKI Jakarta tersebut bergulir dari birokrat Betawi ke Betawi lainnya. Begitupun tantangan berat menunggu Sekdaprov DKI baru yang dilantik oleh Gubernur DKI Anies Baswedan pada Senin (18/1).
Secara peraturan perundangan, Sekdaprov merupakan unsur pembantu pimpinan Pemerintah Provinsi yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur. Sekdaprov bertugas membantu Gubernur dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan tata laksana serta memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh Perangkat Daerah Provinsi.
Sekdaprov diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekdrapov dibantu oleh beberapa asisten. Sekretariat Daerah Provinsi terdiri atas sebanyak-banyaknya 5 Asisten; dimana Asisten masing-masing terdiri dari 3 biro. Pola organisasi Pemprov DKI Jakarta dapat digambarkan sebagai berikut:
Dalam catatan. Bukan kali ini saja birokrat asal Betawi berhasil meraih kursi tertinggi di lingkungan birokrat Pemprov DKI Jakarta. Setidaknya ada tiga nama birokrat asal Betawi sebelumnya. Yakni: Fauzi Bowo yang menduduki kursi Sekdaprov (saat itu bernama Sekretaris Wilayah Daerah) pada 1998-2002. Kemudian dilanjtkan dengan Muhayat (2008 dan 2010). Lalu Saefullah dari era Gubernur Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Djarot Saiful Hidayat, hingga Anies Baswedan.
Setiap Sekdaprov DKI khususnya yang mewakili etnis Betawi mempunyai karakteristik khusus. Mencerminkan pepatah “Setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya”. Serta mengandung prinsip “the rigth man o the right place”. Dengan demikian kehadiran birokrat Betawi di posisi kunci pemerintahan tersebut, tepat waktu dan tengah dibutuhkan oleh masyarakat Jakarta.
Para Sekdaprov Betawi
Setiap Sekdaprov DKI memiliki karakteristik tertentu, terutama dicermati dari latar pendidikan, keahalian atau kompetensi, dan perjalanan karirnya. Pada diri Fauzi Bowo misalnya, identik dengan seorang birokrat dan sekaligus teknokrat. Hal ini terkait dengan latar belakang kehidupannya yang pernah lama tinggal di Jerman (sejak 1968).
Selain juga latar belakang pendidikannya dimana Fauzi mendapat beasiswa dari Technical University Brunswick, salah satu universitas ternama di daerah Jerman Barat hingga tahun 1976 di bidang perencanaan kota dan wilayah. Ini yang kemudian bang Fauzi dipandang sebagai birokrat yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan berlebih tentang pengelolaan dan perencanaan tata kota.
Catatan terpenting dari perjalanan karir Fauzi Bowo adalah bahwa bang Foke, begitu biasa disapa, tidak hanya sukses sebagai birokrat melainkan juga sebagai politisi. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilannya memenangi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI 2007.
Saat itu Fauzi Bowo sebagai Calon Gubernur DKI berpasangan dengan Wakil Gubernur DKI Prijanti yang diusung oleh koalisi partai politik gemuk berhasil mengalahkan Adang Daradjatun dan Dani Anwar yang hanya didukung oleh satu partai politik, yakni: Partai Keadilan Sejahtera.
Berbeda dengan Fauzi Bowo, Muhayat dikenal sebagai seorang birokrat yang terbuka dan luwes dan luas dalam relasi pergaulan dan komunikasi dengan berbagai elemen dan komponen masyarakat Jakarta, lingkungan eksekutif maupun legislatif (DPRD DKI), termasuk dengan awak media. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang karir kepegawaiannya yang banyak bersentuhan dengan urusan penerangan, media dan pers.
Sebelum menjadi Sekdaprov DKI (2008-2022), Muhayat mengawali karirnya sebagai Kasubag Perumusan Program Itjen Departemen Dalam Negeri (1985), Kepala Kantor Departemen Penerangan Kota Jakarta Barat (1992), Kepala Bidang Pers dan Penerbitan Kanwil Departemen Penerangan DKI Jakarta (1999), Kepala Biro Humas dan Protokol DKI (2001-2004) dan Wali Kota Jakarta Pusat (2004-2008).
Sementara Sekdaprov DKI Saefullah dikenal sebagai birokrat pekerja keras. Ini pengakuan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan usai memberikan penghormatan dan pelepasan terhadap Saefullah yang meninggal dunia pada Rabu (16/9/2020).
Tentu saja bukan sekadar modal sebagai pekerja keras, melainkan seorang pekerja berkualitas dan cerdas dengan integritasnya tinggi dan teruji. Latar belakangnya sebagai guru dan Master Ilmu Pendididikan dan ditambah lagi dengan posisinya Ketua Wilayah NU DKI Jakarta berkontribusi positif dalam meniti karirnya sebagai birokrat.
Tanpa modal tersebut, tidak mungkin bagi bang Ipul, demikian Saefullah biasa disapa, bisa eksis di kursi panas sebagai Sekdaprov DKI hingga empat orang gubernur atau Plh Gubernur yang pastinya memiliki style kepemimpinan berbeda. Saefullah menjabat sebagai Sekdaprov DKI sejak 17 Juli 2014 di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Djarot Saiful Hidayat, dan kemudian dilanjutkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Dalam sekian banyak karirnya di Pemprov DKI, mungkin salah satu yang tidak diduga adalah ketika Bang Ipul sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama resmi melantiknya menjadi Sekdaprov DKI pada Jumat (11/7/2014). Kala itu Saefullah mengaku, menjadi Sekdaprov DKI bukan impiannya. “Saya dari dulu tidak pernah mimpi menjadi Sekda. Biasa saja, kalau sekarang jadi Sekda, ya seperti lagi mimpi,” kata Saefullah kepada wartawan di Balaikota Jakarta, kala itu.
Lolos Seleksi Ketat
Keberhasilan Marullah menjadi Sekdaprov DKI setelah melalui proses seleksi yang super ketat dan transparan. Bahkan nyaris tidak terdengar adanya intervensi elit kekuasaan dari arah mananpun (pusat maupun daerah). Seperti diketahui, seleksi untuk jabatan orang tertinggi di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) DKI dimulai sejak sejak 1 Oktober 2020. Saat itu, sebanyak 18 orang ASN mengadu peruntungan untuk dapat menduduki jabatan orang nomor tiga di Ibu Kota setelah gubernur dan wakil gubernur.
Para ASN itu harus menjalani tes tertulis dan penulisan makalah, asesmen kompetensi, tes wawancara, hingga wawancara. Marullah diketahui selalu meraih nilai tertinggi dalam tahapan seleksi Sekda DKI Jakarta. Dia meraih skor tertinggi dalam tes tertulis dan penulisan makalah dengan nilai 78,00. Marullah juga meraih nilai 82,22 dan mendapat bobot sebesar 20,56 persen dalam tes asesmen kompetensi. Selain Marullah, dua kandidat lainnya adalah Sri Haryati; dan Sigit Widjiatmoko.
Kemudian hasil proses tes asesmen tersebut tertuang dalam Surat pengumuman Nomor 9 Tahun 2020 tentang Hasil Tes Assesment Kompetensi Dalam Rangka Seleksi Terbuka Jabatan Sekertaris Daerah dan Deputi Gubenrur DKI Jakarta Tahun 2020. Dalam surat tersebut menyatakan peserta seleksi terbuka jabatan Sekretaris Daerah dan Deputi Gubernur DKI Jakarta yang dinyatakan lulus tes assesmen kompetensi adalah peserta dengan nilai asesmen kompetensi ≥ 68,00.
Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria menilai, proses pemilihan Marullah sebagai Sekda telah melalui mekanisme yang benar dan mengacu pada dua regulasi. Payung hukum itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan Undang-undang (UU) Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI. Selain mengikuti seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya 2020, Marullah juga meraih nilai tertinggi ketimbang para kandidat yang lain.
Dengan demikian pengangkatan bang Marullah sebagai Sekdaprov DKI, bukan hanya telah melalui proses seleksi yang ketat, transparan dan akuntabel. Serta melalui penilaian atas rekam jejaknya selama ini. Lebih dari itu, kehadiran bang Marullah sebagai Sekdaprov sesuai dengan kebutuhan dan zaman dan dianggap tetap dari sisi penempatannya. Dengan demikian, asal usul geneologis sebagai putra Betawi lebih menjadi faktor komplementer. Faktor utamanya lebih disebabkan karena berbagai kualitas personal yang dimilikinya. [rif]
Sumber: Indopolitika.com